Telepon
genggam Ayu, 19 tahun, nyaris tidak pernah berhenti berdering. Sudah tak
terhitung berapa orang yang menanyakan kondisinya dan sang ayah. Mulai dari
wartawan yang ingin memberitakan dirinya, orang yang sekadar ingin mengucapkan
simpati, hingga orang yang mengaku ingin benar-benar menawar ginjal sang ayah.
Tidak
hanya itu, sedari pagi, Ayu mengaku sudah memenuhi undangan wawancara dua
stasiun televisi swasta. Wartawan dari berbagai media pun tampak silih berganti
mengunjungi rumahnya di Jalan Kebon 200, Kelurahan Kamal, Kecamatan Kalideres,
Jakarta Barat.
Jangan
bayangkan Ayu menerima wartawan di sebuah ruang tamu dengan meja dan kursi.
Bangunan yang disebutnya rumah sebenarnya adalah sebuah kompleks ruko tempat
ayahnya, Sugianto, 45 tahun, membuka lapak jahitan. Ukurannya sekitar 3 x 5
meter persegi. Sebagian ruangan tersebut kemudian disekat untuk kamar tidur.
Ruangan itu terkesan lebih sempit sebab dipenuhi mesin jahit, benang jahit, dan
beberapa pakaian, baik yang sudah ataupun belum sempat digarap oleh ayahnya.
Setelah
aksinya dan sang ayah di Bundaran Hotel Indonesia pada Selasa lalu, 25 Juni
2013, Ayu dan ayahnya mendadak terkenal. Saat itu dia dan ayahnya nekat
berorasi sambil membawa tulisan yang isinya sang ayah siap menjual ginjalnya
demi menebus ijazah Ayu yang ditahan oleh pihak sekolah.
"Silakan
masuk, Mas," sambutnya kepada wartawan, Kamis sore, 27 Juni 2013.
Sugianto, yang saat itu sedang menggarap baju salah satu pelanggannya,
menghentikan sejenak pekerjaannya.
Sambil
sesekali menerima telepon, wanita yang bernama panjang Shara Meylanda Ayu
Ardianingtyas ini menceritakan awal mula kejadian sehingga ayahnya nekat
menjual ginjal demi ijazah Ayu.
Ayu
mengaku mulai masuk Pondok Al-Asiyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, sejak tahun
2005. Saat itu dia baru saja lulus sekolah dasar. "Saya masuk ke sana
gratis, semua biaya ditanggung pondok,” ujarnya.
Awalnya,
semua berjalan normal. Ayu menamatkan jenjang sekolah menengah pertama pada
tahun 2008. Pun demikian dengan jenjang sekolah lanjutan. Dia lulus pada tahun
2011 ditambah pengabdian kepada almamater sampai tahun 2013. Dia bahkan sempat
mengenyam bangku kuliah selama dua bulan di pondok tersebut.
Namun
Ayu menuturkan bahwa semua mulai berubah pada awal Januari lalu. Pada saat itu,
terjadi insiden kekerasan. Hal itu dipicu permasalahan internal. Yang membuat
dirinya dan teman-temannya takut, kejadian tersebut terjadi di depan mata para
santri. Sejak itu kondisi pondok menjadi mencekam.
Lantaran
takut, para santri banyak yang berniat meninggalkan pondok. "Tapi kami
tidak boleh, justru kami disuruh membayar ijazah SMP sebesar Rp 7 juta dan
ijazah SMA Rp 10 juta," katanya. Alasan pihak pondok, para santri harus
menyelesaikan jenjang S-1 dulu baru boleh keluar. Namun, menurut Ayu, peraturan
tersebut tidak pernah ada sebelumnya.
Tidak
hanya itu, pihak pondok, lanjut Ayu, juga meminta uang pengganti selama Ayu
berada di sana. "Mereka mintanya Rp 20 ribu per hari, saya di sana sekitar
enam tahun," kata Ayu dengan nada kesal.
Merasa
semakin tertekan. Ayu dan beberapa rekannya kemudian memilih kabur dari tempat
mereka menuntut ilmu. Kejadian tersebut lalu disampaikannya kepada sang ayah,
Sugianto. Tentu saja uang sebanyak itu bukan jumlah yang sedikit bagi Sugianto,
yang sehari-hari hanya berpenghasilan tak lebih dari Rp 70 ribu. Apalagi, sejak
12 tahun lalu, Sugianto harus menafkahi dua anaknya sendiri. Istrinya, Ningsih,
meninggal saat Ayu masih berusia 5 tahun.
Mereka
kemudian mendatangi pondok sampai empat kali. Namun pihak pondok berkeras tetap
menahan ijazah Ayu.
Sugianto
lalu mengadukan permasalahannya ke berbagai pihak. "Saya ke Komnas HAM
sudah, Kemenag juga sudah, dan beberapa instansi lain," ujar Sugianto.
Namun jawaban yang didapat Sugianto hanya saran untuk menunggu.
Mulai
kehabisan akal, Sugianto akhirnya memilih turun ke jalan. Aksi yang dilakukan
Sugianto pun tidak main-main. Dia melakukan orasi dengan membawa tulisan yang
intinya dia siap menjual ginjal demi ijazah anaknya. Ginjalnya pun hanya dibanderol
seharga ijazah anaknya. "Saya tidak ada niatan mencari sensasi. Kalau
memang ada yang menawar seharga itu akan saya berikan asal ijazah Ayu bisa
diambil, “katanya.
Sugianto
mengaku sadar atas risiko yang akan diterimanya jika ginjalnya benar-benar laku.
"Saya rela, kalaupun kesehatan saya menurun juga tidak masalah, “tuturnya.
Aksi
pertamanya di RSCM tidak membuahkan hasil, hingga kemudian dia berpindah ke
Bundaran Hotel Indonesia. Aksi Sugianto akhirnya mendapat perhatian dari banyak
pihak. Berbagai media sontak memberitakan aksinya.
Beberapa
orang yang bersimpati pun menawarkan bantuan. Tak hanya bantuan, Sugianto
mengaku sudah mendapat telepon dari beberapa orang yang serius menawar
ginjalnya.
Sugianto
mengaku siap melepas ginjalnya dengan ketentuan yang berlaku. Dia tetap
berharap ijazah anaknya bisa diambil. Sebab, menurut dia, masa depan anaknya
sangat penting.
Menurut
Sugianto, ijazah merupakan salah satu hak anaknya yang tidak bisa begitu saja
direnggut. "Sampai kapan pun saya akan tetap mencari keadilan untuk anak
saya."
Source: Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar