“Masyarakat
Indonesia” dan komplesks kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak) dan
sekaligus juga heterogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontraposisi dari
singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan,
dan bukan ketunggalan. Artinya, dalam “masyarakat Indonesia” dapat dijumpai
berbagai sub-kelompok masyarakat yang tidak bisa disatukelompokan satu dengan
yang lainnya. Adanya tidak kurang dari 500 suku bangsa Indonesia menegaskan
kenyataan itu. Demikian pula halnya dengan kebudayaan mereka . sementara
heterogenitas yang merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasikan
suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya.
Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta kebudayaannya bisa
sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya. Kita tidak perlu membayangkan
bedanya suku
93 Di zaman yang lampau, Kawasan Nusantara yang kemudian menjadi Republik
Indonesia bukanlah merupakan kawasan yang banyak menarik perhatian di Jerman,
ketimbang kawasan Asia lain seperti India, Cina atau Jepang. Tetapi tidak urung
tercatat sejumlah sarjana Jerman yang membuat nama besar di berbagai bidang
yang berkaitan dengan Indonesia, misalnya Eberhard Rumphius (1627-1702) di
bidang ilmu kelautan di Ambon; Robert Mayer (1814-1874) di bidang fisika di
Surabaya; C.G. Carl Reinwardt yang membangun Kebun Raya Bogor (1773-1854);
Philip Franz von Siebold (1796-1866), dan Franz Wilhelm Junghuhnn yang dimakamkan
di Lembang, Bandung (1809-1864) di bidang biologi dan botani.
Dani di Papua Barat dari suku
Betawi. Keanekaragaman itu sudah dapat kita lihat misalnya cukup di Pulau
Sumatera saja. Di Aceh misalnya, dikenal kehadiran dari empat bahasa:
Gayo-Alas, Aneuk Jame, Tamiang, dan bahasa Aceh, yang masing-masing penuturnya
tidak dapat memahami penutur bahasa setempat lainnya. 94 Pulau Alor
yang kecil dan terpencil di ujung timur kepulauan Nusa Tenggara mengenal 7
bahasa yang berbeda satu sama lain. 95 Justru karena itulah dalam
pembahasan berikut ini kita sudah tidak bisa lagi memisahkan secara tegas
“masyarakat Indonesia” atau kelompok-kelompok sub-masyarakat Indonesia dari
kebudayaannya, karena banyak alasan. Namun alasan utama untuk melakukan
pembahasan yang terjalin yang dapat dikemukakan adalah karena kebedaan
antarkelompok submasyarakat ternyata tidak berjalan paralel dengan kebedaan
kebudayaan. Artinya sering kali kita memang tidak bisa menghindar dari
keharusan untuk melakukan pendekatan yang holistik.96
Dalam
pengamatan melalui pendekatan antropologis telah diperoleh gambaran yang sangat
kompleks mengenai pluralitas dan heterogenitas dari “masyarakat Indonesia” dan
kompeks “kebudayaan Indonesia”, sehingga untuk maksud operasional kita
memerlukan suatu kristalisasi dari gambaran serupa itu. Dalam studi mengenai
Indonesia, kristalisasi serupa itu mula-mula dikemukakan oleh Cornelis van
Vollenhoven, seorang ahli hukum Belanda, pada awal abad XX. Sebagai hasil dari
penelitiannya yang
94 Koentjaraningrat, 1990: hlm.231-232.
95 Turner, op.cit., hlm.61.
96 Bagus, op.cit.,
hlm.293, penjelasan holistik adalah penjelasan yang:
1. Menjelaskan fenomena dalam kaitan
dengan fungsi (maksud, Kegiatan) dari suatu keseluruhan (bentuk, totalitas,
kesatuan) yang menjadi prinsip penuntun bagian-bagiannya. 2. Menjelaskan
kegiatan bagian-bagian dari suatu keseluruhan dalam kaitan dengan fungsi
keseluruha itu.
Mengagumkan, Van Vollenhoven
mengemukaka, bahwa di Kepulauan Nusantara dapat diidentifikasikan adanya 19
lingkungan hukum adat (N: rechtskringen).
Dr. B. Ter Haar kemudian melebarkannya menjadi 24 lingkungan hukum adat. 97
dari konstruksi itu dapat diamati, betapa beraneka ragamnya
lingkungan-lingkungan hukum adat Indonesia. Pulau Jawa misalnya, terbagi dalam
tiga lingkungan hukum adat, sedangkan Pulau Sumatera yang juga mencakup
semenanjung Malaya, Kepulauan Riau dan
Kepulauan Natuna mencakup enam lingkungan hukum adat. Kendati identifikasi dari
van Vollenhoven yang kemudian dilebarkan oleh ter Haar memudahkan suatu upaya
untuk memahami pola kesdaran hukum yang berlaku di berbagai lingkungan hukum
adat itu, pengelompokan itu tidak bisa diperlakukan sebagai bisa berlaku juga
untuk aspek-aspek kebudayaan lainnya seperti bahasa, religi atau struktur
sosial. Dengan kata lain, pluralitas dan heterogenitas dari masyarakat
pendukung dan kompleks “Kebudayaan Indonesia” itu sifatnya berlapis-lapis, dan
sifat fragmentasi dari berbagai lapisan tang tumpang tindih itu juga tidak
kongruen satu sama lain.
Konsekuensi apakah yang dapat
diperkirakan dari konstelasi serupa itu? Koentjaraningrat, tetapi juga banyak
ahli antropologi dan sosiologi tiba pada perumusan yang tidak terlalu berebeda
satu dari yang lain. Dalam rangka pembangunan misalnya, Koentjaraningrat
mengamati bahwa suatu masyarakat yang homogen seperti masyarakat jepang
menawarkan lebih banyak kemudahan (yang dengan sendirinya menjadi kelebihan)
dalam menyusun program-program pembangunan. 98 salah satu aspek yang
terpenting dalam kenudayaan seperti bahasa misalnya, amat menentuka tingkat
kesamaan cara berfikir dari warga
97 Haar, op.cit., hlm.7-10.
98 Koentjaraningrat, 1990: hlm.382.
Masyarakat yang bersangkutan.
Betul bahwa prestasi Indonesia untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua
frana (L) diakui oleh berbagai kalangan di dunia. Namun, hal itu tidak tidak
juga menjamin bahwa tata pikir dari warga masyarakat yang berasal dari berbagai
kebudayaan itu melatarbelakangi penggunaan bahasa Indonesia yang mereka
gunakan. Contoh soal yang sering menimbulkan perselisihan antara penutur bahasa
Indonesia yang bersasal dari lingkungan budaya Jawa adalah misalnya yang timbul
karena penggunaan perkataan “besok”. Perkataan “mbesok” yang dijanjikan oleh
seorang penutur bahasa Indonesia yang berasal dari lingkungan budaya Jawa, oleh
penutur bahasa Indonesia yang berasal dari lingkungan budaya dari Tapanuli atau
Flores misalnya sungguh-sungguh ditafsirkan sebagai “besok” yang merupakan hari
setelah hari ini, dan bukan minggu depan atau bulan depan. Akibatnya, tidaklah
mengherankan jika orang Tapanuli atau orang Flores kemudian mudah mendapatkan
kesan bahwa orang Jawa cenderung untuk tidak mendapati janji.
Namun,
hambatan-hambatan yang potensial dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural dan
heterogen juga dapat ditemukan dalam banyak aspek lainnya. Struktur sosial yang
berbeda akan mengahasilkan pola proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda
juga. Dalam kebudayaan Madura, seorang ulama hampir memliki otoritas untuk
menetapkan “kata akhir” tentang suatu persoalan yang harus diselesaikan. Di
kalangan masyarakat Dayak tradisional adalah seorang kepala adat yang menduduki
posisi itu, di kalangan suku-suku iria, otoritas itu ada pada kepala suku,
sedangkan di desa-desa di Jawa, pada kepala desa (sebelum kepala desa mendapat
status pegawai negeri). Kebedaan itu mengimplikasikan struktur sosial yang
berbeda juga. Semuanya itu menjelaskan, bahwa pluralitas dan heterogenitas itu
memang dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam konteks “keanekaragaman
budaya” untuk membandingkannya dengan “ keanekaragaman hayati”, tetapi dalam
banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih potensial untuk menjadi batu
sandungan, apalagi jika kenyataan itu dieksploitasi secara sengaja dan dengan
demikian juga secara struktural. Yang kemudian akan kita dapatkan lalu pastilah
bukan “nation building”, melainkan
kemungkinan lebih besar yaitu “nation
bleeding”! pada tahun 1970, Koentjaraningrat memeprkirakan bahwa potensi
konflik antarsuku bangsa dan antargolongan yang berbeda-beda di Indonesia akan
menyusut dalam satu generasi. Dalam kenyataannya, menjelang dimulainya abad
XX1, potensi konflik itu bukannya menyusut, melainkan direalisasikan sebagai
konflik yang sesungguhnya!99
Pluralitas dan heterogenitas yang
diuraikan diatas memperoleh tantangan sebagaimana yang diakibatkan oleh upaya
untuk memeprsatukannya melalui konsep negara kesatuan yang dianut oleh UUD
1945, yang mengimplikasikan, bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
secara sentralistik. Konsekuensinya sungguh-sungguh mengakibatkan bahwa
pembuatan aneka keputusan baik yang menyangkut kedaulatan seperti politik luar
negeri atau pertahanan, tetapi juga keputusan yang untuk sebagian besar dapat
diserahkan kepada daerah, semuanya dibuat di Ibu Kota Republik.
99 Koentjaraningrat, 1990:,
hlm.383. jika masa satu generasi dihitung sejak seorang anak lahir sehingga
mencapai usia dapat menghadapi diri sendiri, prediksi dari Koentjaraningrat itu
telah jatuh tempo. Terlalu panjanglah daftar yang dapat dibuat mengenai
berbagai insiden yang terjadi dalam kurun waktu 1996-2000 saja. Pada
pertengahan taun 2000 juga belum dapat diperkirakan, kapan dan dengan cara
bagaimana konflik-konflik itu akan bisa diatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar